Saksi Kegemilangan Masa Lampau
Inilah Masjid yang menjadi saksi sejarah hadirnya Kerajaan Melayu Siak Sri Indrapura di Sumatra Timur (sekarang masuk Provinsi Riau). Didirikan pada tahun 1926 di masa Pemerintahan Sultan Qasim, Sultan Siak yang terakhir. Oleh Sultan, masjid ini diberi nama Masjid Syahbuddin. Nama ini masih dipakai sampai saat ini.
Entah mengapa sultan memberikan nama masjid dengan menggunakan kata dari dua bahasa sekaligus, yaitu syah (bahasa Persi yang berarti ‘penguasa’) dan ad-din (bahasa Arab yang berarti ‘agama’)- Barangkali sultan ingin menegaskanbahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpinnya adalah sebuah kerajaan Islam. Dan, ia sendiri selaku sultan (raja), bukan hanya menjadi penguasa negara atau pemerintahan saja, tetapi juga sekaligus menjadi penguasa agama. Tentu yang di- maksud adalah pernimpin agama atau yang lazim disebut imam.
Memang demikianlah tradisi yang berlaku secara tUrun-temurun dalam sebuah kerajaan Melayu. Dan, Siak Sri Indrapura sebagai salah satu di antara puluhan Kerajaan Melayu yang pemah berjaya, telah berupaya menjaganya. Doktrin atau falsafah yang menjadi dasar negara Kerajaan Siak Sri Indrapura adalah Islam-Melayu-Beraja.
Dalam konteks kenegaraan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan (negara). Melayu sebagai entitas, yakni sebuah kesatuan sosial mencukupi pengertian kebangsaan, bahasa, dan kebudayaan. Sedang- kan, beraja adalah satu penegasan bahwa bentuk pemerintahan negara adalah kerajaan dengan raja sebagai kepala negaranya.
Terbukti selama sekian abad doktrin Islam-Melayu-Beraja ini mampu menjadi perekat persatuan suku bangsa-suku bangsa di pesisir Nusantara, kita tidak dapat memungkiri peranan Kerajaan Melayu yang menjadi “benkeng” kebudayaan dan bahasa Melayu. Bukan sesuatu yang diametral atau bertolak belakang.
Atas dasar asumsi itu, Sultan Siak amat memperhatikan perkem- bangan dakwah Islam. Meskipun dana pembangunan Masjid Syahbuddin ini tidak sepenuhnya dari kas kerajaan, tetapi takmir ‘pengelola’ masjid ini diangkat oleh sultan. Di masa pemerintahan Sultan Syarif Qasim, yang menjadi ketua takmimya adalah Mufti Haji Abdul Wahid dan kemudian digantikan oleh Faqih Abdul Muthalib. Sedangkan, sekarang ini dikelola oleh pengurus yang ditetapkan berdasarkan musyawarah kaum muslimin.
Dalam usianya yang sudah lebih dari setengah abad, Masjid Syahbuddin ini telah beberapa kali mengalami perbaikan (renovasi) ringan dan penambahan bangunan, antara lain teras di samping kanan dan kiri masjid. Yang tidak kalah menariknya, masjid ini dahulunya terletak sekitar 100 meter dari Sungai Siak. Tetapi, karena terjadi keruntuhan pada tebing sungai maka jaraknya tinggal 25 meter saja.
0 Comments