![]() |
Sholat Ied di Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman (antara) |
Sejarah kota Pontianak
setali tiga uang dengan sejarah Islam di kota tersebut. Sejarah Pontianak dimulai
di abad ke 18 ketika Syarif Abdurrahman Alkadrie beserta para pengikut dan keluarganya
membabat hutan untuk kemudian mendirikan pemukiman baru yang kemudian
berkembangan menjadi kesultanan Pontianak.
Kesultanan Pontianak adalah tempat
bertahtanya Sultan Hamid II, Sultan ke
delapan sekaligus Sultan terahir dari kesultanan Pontianak sebelumnya
meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia., beliau adalah
penggagas dan perancang lambang Negara kita, Garuda Pancasila. Salah satu dari
simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia.
![]() |
Masjid Jami Pontianak dari arah Sungai Kapuas dengan latar depan
perahu motor yang merupakan salah satu moda transportasi di kota Pontianak (Foto dari vivanews.com) |
Di komplek
keraton tempatnya bertahta berdiri megah hingga kini sebuah masjid Jami Kesultanan Pontianak yang dibangun
pertama kali oleh sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Pontianak, Sultan
Syarif Abdurrahman Alkadrie. Masjid yang sekaligus menjadi awal dimulainya
sejarah kota Pontianak yang setiap tahun diperingati sebagai hari lahir kota
Pontianak, ibukota Propinsi Kalimantan Barat. Masjid Jami tua tersebut kini
dinamai sesuai dengan namanya sebagai Masjid Sultan Abdurrahman – Pontianak.
Lokasi Masjid Sultan Abdurrahman
Masjid Sultan
Abdurrahman berada di dalam lingkup Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis
Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, propinsi Kalimantan Barat. Lokasi
masjid tua ini berada di kawasan pemukiman padat penduduk dengan pasar Ikan
yang begitu dekat ke bangunan masjid yang menghadap ke Sungai Kapuas. Masjid
Jami’ dapat di jangkau dengan menggunakan sampan dari pelabuhan Seng Hie atau
dengan kendaraan darat melewati jembatan kapuas.
Koordinat geografi : -0°1'36"N 109°20'51"E
View Masjid Sultan Abdurrahman Kota Pontianak in a larger map
Sejarah Kota Pontianak
Sejarah kota
Pontianak dimulai dari 23 Oktober 1771 bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1181
Hijriah ketika rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di
persimpangan tiga Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas untuk membangun
tempat tinggal dan sebuah surau sederhana. Tempat tersebut diberi nama
Pontianak. Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Kota Pontianak
berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan.
Dalam bahasa
Melayu, Pontianak berarti hantu kuntilanak. Dalam sejarahnya konon pada saat
awal pembukaan kawasan ini untuk dijadikan kawasan pemukiman baru oleh rombongan
Syarif Abdurrahman Alkadrie seringkali diganggu oleh hantu kuntilanak, itu
sebabnya kawasan tersebut kemudian terkenal dengan nama Pontianak.
![]() |
Foto dari pontianakpost
|
Pada hari
senin tanggal 8 Sya’ban 1192H, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai
Sultan Pontianak pertama. Kesultanannya sendiri kemudian terkenal dengan nama
kesultanan Kadriah, dinisbatkan kepada namanya. Tercatat 8 Sultan pernah
berkuasa di kesultanan Pontianak sejak dari Sultan pertama Syarif Abdurrahman
Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808 hingga sultan terahir atau sultan ke
delapan Syarif Hamid Alkadrie. Sultan terahir
ini terkenal juga dengan nama
Sultan Hamid II yang sudah disinggung di awal
tulisan ini.
Letak pusat
pemerintahan kesultanan Kadriah ditandai dengan berdirinya bangunan Mesjid Raya
Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadriah, kawasan masjid dan istana ini sekarang
terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Kota Pontianak
propinsi Kalimantan Barat.
![]() |
Sultan Hamid II |
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman ketika pertama kali membuka kawasan hutan persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas tahun 1771. Tempat yang kini dikenal sebagai kota Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman juga membangun Istana tak jauh dari masjid ini.
Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah seorang keturunan Arab, anak Al Habib Husein, penyebar agama Islam dari Semarang (Jawa Tengah). Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua, dan beliau diangkat sebagai Mufti Kerajaan. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Dalam perkembangannya, kemudian terjadi perselisihan antara Sultan dengan al-Habib Husein. Akhirnya, al-Habib memutuskan untuk meninggalkan Kerajaan Matan, pindah ke Kerajaan Mempawah dan bermukim di kerajaan tersebut hingga ia meninggal dunia. Setelah al-Habib Husein meninggal dunia, posisinya digantikan oleh anaknya. Syarif Abdurrahman. Akan tetapi, Syarif Abdurrahman kemudian memutuskan pergi dari Mempawah dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam.
![]() |
Foto dari panoramio |
Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian membuka dan menebas hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru, termasuk bangunan Masjid dan Istana dan membentuk Kesultanan Pontianak.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Ketika Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi kekuasaanya diteruskan sementara waktu oleh adiknya yang bernama Syarif Kasim karena putera Syarif Abdurrahman yang bernama Syarif Usman masih kanak-kanak ketika ayahnya meninggal dunia. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak pada tahun 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Sejak masjid ini didirikan, selain berfungsi sebagai pusat ibadah, juga digunakan sebagai basis penyebaran Agama Islam di kawasan tersebut. Beberapa ulama terkenal yang pernah mengajarkan Agama Islam di masjid ini di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H Ismail Jabbar dan H Ismail Kelantan.
Arsitektural Masjid Sultan Syarif Abdurrahman – Pontianak
![]() |
Subuh di Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman (foto
dari panoramio)
|
Masjid Jami' Sultan Syarif Abdurrahman berdenah segi empat berukuran 33,27 meter x 27,74 meter, dikelilingi oleh selasar melingkar berpagar dapat menampung sekitar 1.500 jamaah salat sekaligus. Bagian dalam masjid terdiri dari 26 shaf, setiap shaf dapat menampung sekitar 50 jemaah ditambah dengan area selasarnya.
Masjid akan penuh terisi jamaah salat, saat waktu salat Jumat dan tarawih Ramadan. Bangunan masjid dari kayu bulian ini dibangun seperti layaknya bangunan bangunan masyarakat sekitar yang berupa rumah panggung. Tiang kayu masjid ini tadinya langsung bersentuhan dengan tanah namun kini sudah di cor setinggi 50 sentimeter di atas permukaan dan 50 sentimeter ke dalam tanah untuk mencegah pelapukan
Masjid akan penuh terisi jamaah salat, saat waktu salat Jumat dan tarawih Ramadan. Bangunan masjid dari kayu bulian ini dibangun seperti layaknya bangunan bangunan masyarakat sekitar yang berupa rumah panggung. Tiang kayu masjid ini tadinya langsung bersentuhan dengan tanah namun kini sudah di cor setinggi 50 sentimeter di atas permukaan dan 50 sentimeter ke dalam tanah untuk mencegah pelapukan
![]() |
Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman, Pontianak atau biasa disebut dengan Masjid Jami Pontianak (Foto dari ianimaru.com) |
Masjid Sultan Syarif
Abdurrahman hampir keseluruhan bangunan menggunakan kayu bulian, warna kuning
mendominasi dinding kayu masjid ini sementara plafonnya dicat dengan warna
hijau. Warna kuning melambangkan keagungan sedangkan warna hijau melambangkan
warna kenabian atau ke-Islaman. Atap
masjid
bertumpuk empat
ditutup lembaran lembaran kayu bulian berukuran lebih besar dari atap sirap
biasa. Antara
atap paling bawah dan kedua, terdapat celah yang digunakan untuk jendela.
Jendela tersebut mengelilingi seluruh celah tersebut, sehingga ruang dalam
cukup mendapat cahaya pada siang hari.
Di atas atap kedua, terdapat teras
yang cukup luas berbentuk segi empat panjang, di setiap sudutnya terdapat
gardu. Karena ada empat sudut, maka terdapat juga empat gardu. Menurut sebagian
warga setempat, gardu tersebut dulu digunakan sebagai tempat mengumandangkan
azan. Namun, ada pula yang menginterpretasikannya sebagai simbol dari empat sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafa’ al-Rasyidin yakni Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Hattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib.
![]() |
Nice view from kapuas river
|
Teras di atas lapisan atap kedua ini mengelilingi sebuah unit bangunan yang juga berdenah segi empat. Di atas unit ini terdapat atap lapis ketiga. Di atas atap lapis ketiga terdapat lagi unit kecil seperti gardu, berfungsi sebagai menara. Atap menara ini bersisi empat dengan dudur yang membentuk penampang huruf S. Sehingga secara keseluruhan menara ini berbentuk seperti lonceng.
Untuk akses keluar masuk masjid, tersedia
tiga pintu utama yang tingginya sekitar 3 meter. Satu pintu posisinya di bagian
depan, satu di sisi kiri dan satu lagi di sisi kanan. Selain itu, di
antara pintu-pintu besar tersebut, masih ada lagi 20 pintu lain dengan ukuran
yang sedikit lebih kecil (tinggi lebih kurang 2 meter).
Semua pintu di masjid
ini memiliki dua daun yang membuka keluar. Bahan utamanya dari kayu belian dan
kaca warna-warni yang berbentuk kotak-kotak besar. Uniknya, fungsi pintu
ternyata juga sebagai jendela. Model pintu masjid ini sama dengan rumah model lama. Bentuk dan ukuran
pintunya sama dengan jendela. Hanya saja di empat pintu bagian depan, sengaja dipasangi papan pagar sehingga bentuknya
tampak lebih kecil dan seperti jendela zaman sekarang.
![]() |
Sholat Ied di Masjid Jami Sultan Abdurrahman (antara)
|
Di dalam masjid berdiri kokoh enam sokoguru dari kayu bulian (kayu Ulin atau kayu besi) dengan diameter yang cukup besar menopang struktur atap masjid. Enam pilar ini juga melambangkan 6 rukun iman. Selain sokoguru bundar tersebut masih ada lagi pilar pilar berbentuk segi empat menjulang ke langit langit masjid. Pilar segi empat ini juga berukuran diatas rata rata dibandingkan dengan pilar pilar kayu yang biasa dipakai dirumah rumah penduduk.
Mihrab masjid ini berdenah segi enam melambangkan rukun Islam yang enam. Bentuk mihrab ini mirip dengan mihrab Masjid Tanah Grogot, Kalimantan Timur dan di dalam mihrab terdapat sebuah mimbar warna kuning mengkilap dengan ukiran-ukiran yang indah berwarna emas. Di atas mimbar ini terdapat inskripsi huruf Arab yang menyatakan bahwa Sultan Syarif Usman membangunnya pada hari Selasa Bulan Muharram tahun 1237H. Sultan Syarif Usman (1819-1855) atau Sultan ke-3 Pontianak tercatat sebagai sultan yang pertama kali meletakkan pondasi masjid ini sekitar tahun 1821 M/1237 H menggantikan bangunan bangunan masjid kecil (mushola) yang dibangun ayahandanya Sultan Syarif Abdurrahman.
![]() |
Rasanya sulit menemukan pemandangan seperti ini
ditempat lain
tapi ini adalah jemaah sholat Ied di Masjid Jami Pontianak (antara)
|
Arsitektur dan bentuk dari masjid ini hampir semuanya masih asli. Pengurus masjid memang sengaja mempertahankan keaslian bangunan yang bernilai sejarah tinggi ini. Mengingat Masjid ini adalah ikon budaya sekaligus saksi perkembangan Kota Pontianak dari waktu ke waktu. Upaya mempertahankan keaslian bangunan juga merupakan titah dari Almarhum Sultan Hamid II.
Sekitar tahun 1960-an, pernah ada upaya untuk mengubah arsitektur dan bentuk asli masjid. Waktu itu, sempat dibangun dua buah menara tambahan di pojok masjid yang tingginya kira-kira 25 meter. Pondasi pun ingin diubah. Ketika itu, Sultan Hamid II (1945-1978) datang dari luar kota dan beliau tidak senang melihatnya. Beliau memerintahkan supaya bangunan baru itu dibongkar dan bentuknya dikembalikan lagi ke semula. Padahal menara itu sudah 90 persen jadi. Sejak saat itulah, upaya-upaya untuk mengubah bentuk atau arsitektur masjid ini tidak lagi pernah dilakukan hingga kini.
Di depan masjid terdapat lapangan yang cukup luas, menyerupai alun-alun di tanah Jawa, beberapa puluh meter di sebelah selatan dari masjid, terdapat Istana Sultan Kraton Kadriyah. Aspek tata letak masjid-istana dan alun-alun ini seperti ini menunjukkan adanya pengaruh dari tradisi kesultanan di tanah Jawa.
Foto Foto Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman
Masjid Jami Pontianak dipersimpangan sungai (Foto dari desaasri)
|
![]() |
Senja di masjid Jami Sultan Abdurrahman Pontianak (skyscrapercity)
|
Menyembul diantara rumah rumah penduduk kampung Beting
|
![]() |
Jemaah sholat Ied di Masjid Jami Sultan Abdurrahman(skyscrapercity) |
![]() |
Masjid Jami Pontianak (panoramio) |
![]() |
Masjid Jami Pontianak dipandang dari jembatan Kapuas (panoramio)
|
Referensi
pontianakpost.com - masjid jami sultan
syarif abdurrahman pontianak (1)
pontianakpost.com - masjid
jami sultan syarif abdurrahman (bagian 2)
pontianakpost.com - pertahankan
keaslian bangunan, junjung titah sultan
pontianakkota.go.id - berdirinya kota pontianak
------------------------------------ooOOOoo------------------------------------
0 Comments